Skip to main content
HimpaskomKegiatan

Bedah Buku “Digital Dilemma 4”: Mengupas Pro Kontra Kehadiran AI di Tengah Peradaban Manusia

By November 22, 2024Januari 19th, 2025No Comments3 min read

Salemba,

Masifnya penggunaan Artificial Intelligence (AI) di berbagai bidang memunculkan pertanyaan yang menggelitik. Bagaimana relevansi manusia di tengah gempuran AI yang tak hanya menghadirkan kemudahan, tetapi juga risiko dan ancaman? Divisi Akademik Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (Himpaskom UI) 3.0 berupaya mengasah kepekaan mahasiswa tentang isu tersebut melalui acara Communication Talk bertajuk “Diskusi Buku Digital Dilemma 4 — AI dan Dilema Manusia” pada Jum’at 30 Agustus 2024 di Gedung IASTH Kampus UI Salemba. Diskusi yang dipandu oleh Nadya Realtya ini menghadirkan Sang Penulis Buku, Firman Kurniawan Sujono; Ken Yunita, CEO Urbanasia.com; dan Oktamandjaya Wiguna, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI sekaligus Editor Buku “Digital Dilemma 4”.

Dalam tiga sesi yang berlangsung selama dua jam, para peserta diajak memandang AI melalui dua perspektif, yakni optimis dan pesimis. Pada sesi pertama, Firman fokus memaparkan isi buku yang menyoroti bagaimana manfaat dan produktivitas AI berpotensi melenakan manusia. Efisiensi pekerjaan yang ditawarkan oleh AI tidak hanya dapat menggantikan peran manusia, tetapi juga menempatkan manusia pada posisi rentan akibat pengawasan (surveillance) yang terus-menerus. Otentisitas manusia pun perlu mendapatkan definisi baru karena AI mempersulit proses diferensiasi antara manusia nyata dengan duplikatnya.

“AI membuat pekerjaan lebih efisien dan sempurna, tetapi Anda diawasi terus-menerus dan Anda akan dipersonalisasi. AI bisa membaca kebutuhan kita agar pemasar bisa membuat pemasaran yang tepat, sehingga menguntungkan mereka. Surveillance society,” Firman Kurniawan Sujono.

Sepakat dengan Firman, Ken mencontohkan ketidakmampuan anak-anak muda untuk membaca jam analog sebagai bukti bahwa AI mendangkalkan otak manusia. Di ranah jurnalisme digital, ia mengakui AI mampu memangkas jumlah sumber daya manusia untuk mencari ide dan tema, membuat perencanaan konten, mengedit video, transkrip wawancara, menulis artikel, hingga mencari tahu kebutuhan konsumen. Namun di sisi lain, redaksi dituntut semakin jeli dalam mengidentifikasi hoaks dan memverifikasi kebenaran informasi pada artikel yang ditulis oleh AI. Media juga tetap harus menerjunkan tenaga kerja manusia ke lapangan untuk mencari informasi—sesuatu yang sulit dilakukan oleh AI. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya peran manusia tidak sepenuhnya hilang di tengah penggunaan AI.

“Untuk menjaga kualitas, kita tidak serta-merta copy paste. Kita akan lihat dan diskusikan lagi dan kita sesuaikan dari gaya bahasa dan verifikasi juga. Kita nggak bisa ngelawan teknologi, jadi mau nggak mau yang kita lakukan adalah adaptasi,” Ken Yunita.

Buku “Digital Dilemma 4” yang ditulis dari sudut pandang distopia mampu memantik kesadaran Ken sebagai seorang perempuan tentang kelemahan AI yang diciptakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan wanita. “AI dibuat oleh kaum laki-laki. Ketika yang buat laki-laki, maka sudut pandangnya untuk laki-laki. Jadi, lagi-lagi menjajah. Belum ada yang ini akan menyelesaikan masalah,” ungkapnya.

Okta menyampaikan bahwa kasus-kasus aktual yang disertakan dalam tiap bab di buku ini memudahkan pembaca untuk memahami perspektif yang dapat digunakan untuk mengkaji isu yang dibahas. “Bermanfaat bagi mahasiswa. Mahasiswa kan susah nyari teori. Baca buku Mas Firman tuh kita tahu permasalahan ini bisa dikaji dengan teori apa dan perspektif apa,” ulasnya.

Bedah buku ini semakin hidup berkat pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta pada sesi tanya-jawab. Sebagai apresiasi, ketiga penanya menerima hadiah berupa buku “Digital Dilemma” edisi-edisi sebelumnya yang diserahkan langsung secara bergiliran oleh penulisnya, Firman Kurniawan dan Ketua Himpaskom UI 3.0, Hetty Mery Marbun. Acara ditutup dengan sesi foto bersama pengisi acara, para peserta, dan anggota Himpaskom UI. (SAC)