Skip to main content
HimpaskomKolaborasi

Memaknai Ulang Istilah Kecanduan Gawai Versi Anda Sendiri

By Januari 13, 2025No Comments6 min read

Penulis: Adipurwa Muslich – Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI

SALEMBA, Januari 2025

Cobalah ketik kata kunci “kecanduan gawai’ di mesin pencari populer, mungkin kita akan mendapatkan hasil pencarian yang sama. Hasil pencarian saya dibanjiri dengan judul yang senada. Tujuh dari sepuluh artikel elektronik dalam satu laman menuntun saya ke tautan-tautan yang berisi tips mencegah kecanduan gawai. Jika Anda menganggap kecanduan gawai adalah masalah serius lalu menggunakan smartphone untuk mencaritahu ciri-ciri dan tips mengatasinya, hanya sekadar mengingatkan, Anda justru sedang memperdayakan “musuh” untuk melawannya.

“Siang-malam ‘ku selalu menatap layar terpaku,” kata Saykoji di lagu Online (2009) dan ONLN (2022). Saykoji sampai harus menyegarkan lagu ini karena memang terasa makin relevan. Di sisi lain, kecanduan gawai menjadi istilah yang terasa ganjil karena saat ini kita hidup di tengah segala pembiasaan untuk terhubung setiap waktu menggunakan gawai.

Istilah kecanduan gawai menjadi rancu, lantaran gawai menjadi kebutuhan sekaligus dianggap ancaman, bahkan disebut candu.

Semboyan Detoks Digital dan Hari Tanpa Smartphone pernah menyeruak sebagai bentuk perlawanan atas “candu” yang disebabkan gawai. Semboyan tersebut seolah mengglorifikasi bahwa ketergantungan terhadap perangkat digital hanya memberikan pengaruh buruk bagi manusia, dan sudah sedemikian parah. Paradoks, karena kita juga mendeklarasikan diri sebagai masyarakat digital. Istilah kecanduan gawai menjadi rancu, lantaran gawai menjadi kebutuhan sekaligus dianggap ancaman, bahkan disebut candu.

Kecanduan didefinisikan sebagai kebiasaan tidak sehat yang merusak diri dan sulit dihentikan. Menurut Hesse (2006) pada jurnal medis, kecanduan dianggap sebagai penyakit mental yang mengakibatkan masalah kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kita sepakat bahwa dampak gawai terhadap kesehatan memang membutuhkan perhatian sejak era radio, televisi, sampai internet. Namun kaitannya dengan ekonomi dan sosial perlu dipertanyakan ulang. Banyak sektor pekerjaan yang saat ini harus bertransformasi menjadi serba digital, yang artinya intensitas penggunaan gawai akan berbanding lurus dengan tuntutan profesi. Begitupun dengan lingkungan sosial. Kita semakin terbiasa dengan interaksi digital seperti rapat daring, kuliah daring, sampai online shoping. Kehidupan menjadi serba-gawai, karena kita adalah masyarakat digital.

Masyarakat digital senantiasa berinteraksi dengan teknologi digital dengan tujuan untuk memudahkan hidup.

Inald Lagendijk, seorang profesor di bidang computing-based society, menuturkan bahwa masyarakat digital senantiasa berinteraksi dengan teknologi digital dengan tujuan untuk memudahkan hidup (Supadnomo, 2020). Ada tiga hal yang membuat hubungan kita dengan gawai semakin intens. Pertama, kemajuan teknologi telah menghadirkan bentuk interaksi satset. Sebagai ilustrasi, cara kita menjadwalkan waktu pertemuan kini lebih mudah dan fleksibel hanya dengan melalui aplikasi chatting. Bisa diatur kapan pun, di mana pun, bahkan dengan leluasa mengubah detailnya jelang pertemuan. Kemudahan mengatur meet up ini disebut sebagai approximeeting (Plant, 2000) yang memungkinkan terjadi karena peran gawai. Approximeeting jelas mengubah cara berkomunikasi.

Kedua, kedekatan teknologi dengan tubuh seperti telepon pintar, tablet, laptop, gelang pintar dan perangkat lainnya. Gawai yang hampir selalu melekat dengan tubuh, telah mengubah cara individu terhubung dengan lingkungan sosialnya. Kecenderungan individu untuk selalu terhubung terus-menerus sepanjang waktu disebut dengan hyperconnectivity (Lindgren, 2017). Keterhubungan ini ditunjang dengan kehadiran perangkat yang portabel. Karena portabilitasnya, kita hampir selalu membawa gawai ke mana pun. Setangkup dengan kondisi sosial yang juga menuntut kita untuk terus melekat dengan gawai.

Terakhir, karena faktor intrinsik manusia, yaitu semangat dalam menggunakan teknologi. Tidak bisa dimungkiri bahwa muncul semangat dan ketertarikan tersendiri ketika menggantungkan banyak hal pada gawai. Contohnya perasaan lebih percaya dan nyaman menggunakan aplikasi maps dibanding bertanya ke warga sekitar. Kondisi di mana kita merasa lebih tertarik, lebih terpanggil, dan lebih bersemangat untuk menggunakan mesin atau teknologi disebut dengan istilah apparatgeist (Katz & Aakhus, 2002). Apparatgeist membentuk tindakan sosial yang baru, dan mengubah interaksi sosial menjadi lebih termediasi.

Konsep seperti approximeeting, hyperconnectivity, dan apparatgeist mungkin terdengar asing, namun kita jalani hampir sepanjang waktu. Keterbiasaan ini yang membuat kita sulit lepas dari gawai karena kebutuhan personal dan kondisi sosial telah berubah. Sehingga makna kecanduan gawai menjadi sumir. Penggunaan istilah kecanduan gawai kadang menjadi berlebihan, karena di sisi lain gawailah yang membuat kita menjadi bagian dari masyarakat digital. Gawai memenuhi kebutuhan personal kita untuk terhubung dengan lingkungan. Sulit menjustifikasi ancaman gawai, karena sebagian orang menggantungkan pekerjaan dan kebutuhan sosialnya pada gawai. Jika manusia dijauhkan dari gawai, kemungkinan akan mengganggu eksistensi dirinya. Malah menjadi masalah baru.

Penting untuk memikirkan kembali, mendefinisikan secara jujur apa makna kecanduan gawai bagi diri sendiri, bukan dari standar kepanikan orang lain.

Bagi Anda yang berhasil melakukan Detoks Digital atau mencoba Hidup Tanpa Gawai, selamat. Namun harap berhati-hati menyampaikan istilah kecanduan gawai untuk orang yang belum berhasil, karena bisa menimbulkan superioritas moral. Artinya ketika seseorang berhasil lepas dari gawai (karena anggapan gawai sebagai “penyakit”) maka sebagian lainnya yang masih harus menggunakan gawai akan merasa gagal, hina, atau cemas karena merasa tidak mampu mencapai standar. Padahal penggunaan dan potensi gawai berbeda-beda untuk setiap orang. Penting untuk memikirkan kembali, mendefinisikan secara jujur apa makna kecanduan gawai bagi diri sendiri, bukan dari standar kepanikan orang lain.

Setiap orang perlu memiliki definisi personal tentang istilah kecanduan gawai. Bukan untuk mencari pembenaran atau tidak mau memikirkan ancamannya, tapi karena ruang sosial kita telah bertransformasi. Kita telah menjadi bagian dari masyarakat digital yang memang hidup berdampingan dengan gawai. Istilah kecanduan gawai mungkin masih relevan untuk satu atau dua dekade lalu, ketika gawai masih dianggap kebutuhan tersier, ketika gawai belum melekat pada tubuh, ketika konektivitas sosial kita masih dimaklumi karena jarak. Tidak ada salahnya kita pikirkan ulang apa makna kecanduan bagi pribadi masing-masing, sembari menjauh sejenak dari gawai. Tapi jangan lupa bawa charger.

Hesse, M. (2006). What does addiction mean to me. Mens Sana Monographs, 4(1), 104. National Library of Medicine.
Katz, J. E., & Aakhus, M. (2002). Perpetual contact: Mobile communication, private talk, public performance. Cambridge University Press.
Lindgren, S. (2017). Digital Media and Society. SAGE Publications Ltd.
Plant, S. (2000). The effects of mobile telephones on social and individual life. Report commissioned by Motorola.
Supadnomo, W. A. (2020). Mengenal Digital Society dan SDG untuk Membantu Kelangsungan Bisnis dan Inovasi Anda. The Medium.

Seri KOLABORASI berisi buah pikiran mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI berupa opini, pengamatan, dan diskusi fenomena sosial, budaya, dan komunikasi. Program ini diinisiasi oleh HIMPASKOM dengan semangat “dari kita untuk kita”. Ruang ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi karya mahasiswa agar dapat diakses oleh pembaca umum.