Penulis, jurnalis, dan akademisi. Itulah tiga peran yang melekat pada Ignatius Haryanto, alumnus program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP UI yang telah tiga dekade mengabdikan pikiran-pikirannya bagi perkembangan media massa dan jurnalistik di Indonesia.
Pengabdiannya bagi dunia pers tidak bisa dipandang sebelah mata. Hary, sapaan akrabnya, telah menulis dan menyunting lebih dari 50 buku sejak tahun 1995, serta menerbitkan lebih dari 100 judul artikel di berbagai media nasional.
Sebagian besar karya Hary menyoroti isu jurnalistik, filsafat, dan sosial politik. Beberapa judul di antaranya meliputi Indonesia Raya Dibredel (2006), Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21 (2014), Para Sahabat Mengenal Daniel Dhakidae: Cendikiawan Par Excellence (2022), John Locke dan Akar Pemikiran Hak Kekayaan Intelektual (2021), dan Sesat Pikir Kekayaan Intelektual (2014).
Saat ini, Hary juga dipercaya sebagai salah satu reviewer untuk Jurnal Media Asia, sebuah jurnal ilmiah bereputasi internasional yang berbasis di Manila, Filipina.
Mengenal Dunia Jurnalistik: Dari Kampus ke Majalah Tempo
Kecintaan Hary pada dunia jurnalistik bermula saat ia menempuh pendidikan sarjana di Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Saat itu, menjadi jurnalis tampak sebagai jalan ideal bagi Hary untuk menggapai impiannya berkeliling dunia.
Bak gayung bersambut, impian itu tercapai pada tahun 1994 hingga 2003. Selama periode tersebut, Hary sempat bergabung sebagai jurnalis di majalah Forum Keadilan, majalah D&R, dan majalah Tempo.
Selama menjalankan karier jurnalistiknya, Hary telah mengunjungi lebih dari 30 provinsi di Indonesia. Pengalaman meliput pun membawanya menembus batas negara, mulai dari negara-negara di ASEAN, hingga ke Eropa dan Australia.
Namun, penugasan liputan tidak selamanya menjanjikan kenyamanan. Hary beberapa kali ditugaskan untuk meliput wilayah konflik yang berbahaya, seperti konflik antar-etnis di Kalimantan Barat, konflik pertanahan di Karawang, hingga konflik antar-agama di Ambon.
Tidak hanya aktif di lapangan, Hary juga tercatat sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak 1995, dan menjabat sebagai anggota Dewan Etik AJI Jakarta sejak 2015. Ia turut mendirikan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) pada tahun 1994, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pengembangan media dan jurnalistik. Antara 2007 hingga 2014, Hary kemudian diangkat sebagai direktur eksekutif di lembaga tersebut.
Ketika Buku Karyanya “Diadili”
Perjalanan Hary sebagai penulis buku juga tidak selamanya berjalan mulus. Salah satu karyanya yang membahas isu Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pernah membawanya pada pengalaman yang tak terlupakan.
“Ada sejumlah lawyer-lawyer HKI yang membaca buku saya, dan mereka tersinggung dengan buku-buku saya,” ujar Hary ketika diwawancara (06/08/2025). “Dan pernah saya dipanggil dalam sebuah forum yang ternyata di situ saya ‘diadili’ oleh para lawyer HKI,” lanjutnya.
Menurut Hary, peristiwa itu muncul karena sebagian kalangan pengacara menilai bahwa ia tidak memiliki latar belakang hukum yang sah untuk menulis tentang isu HKI. Padahal, tulisannya itu justru bertujuan untuk membuka ruang diskusi lintas disiplin mengenai isu tersebut.
“Saya justru ingin menulis sesuatu yang mau mengatakan bahwa masalah tentang intellectual property ini bukan dominasi orang hukum saja, ini bisa ditinjau dari berbagai perspektif,” tegas Hary. Beruntung, buku tersebut tetap bisa beredar hingga kini.
Meski menjadi salah satu momen krusial dalam perjalanan kepenulisannya, insiden itu tidak menyurutkan semangat Hary dalam menulis. Baginya, menulis adalah proses yang menyenangkan dan penuh kejutan, karena ia tidak pernah tahu bagaimana respons pembaca akan terbentuk.
“Menulis bagi saya adalah dua hal, berbagi apa yang saya ketahui, dan sekaligus memanfaatkan buku-buku yang saya punya cukup banyak,” ungkap Hary.
Menjadi Seorang Akademisi
Setelah bertahun-tahun berkecimpung sebagai praktisi media, Hary mulai menapaki jalur akademik. Pada 2007, Hary mengajar jurnalistik di salah satu universitas swasta di Kabupaten Tangerang. Sepuluh tahun kemudian, pada 2017, ia diangkat sebagai dosen tetap di kampus yang sama.
Untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya, Hary tidak ragu untuk mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia meraih gelar Magister Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 2012. Ia kemudian kembali ke almamaternya, FISIP UI, untuk menempuh pendidikan doktoral di bidang Ilmu Komunikasi.
Terjun ke dunia akademik tidak membuatnya lupa akan dunia jurnalistik. Hal itu tercermin dari disertasinya yang bertajuk “Disrupsi Digital, Journalistic Field (Arena Jurnalistik), dan Transformative Capital di Kompas dan Tempo (1995-2020).”.
Hasil penelitiannya mengenai transformasi digital di dua media nasional tersebut berhasil ia pertahankan di hadapan para dewan penguji pada 2024. Lihat artikel.
Keakraban Mahasiswa Doktoral
Keberhasilan Hary dalam menjalankan program doktoralnya tak lepas dari lingkungan akademik yang ideal dan suasana belajar yang kondusif di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI. Menurutnya, meski para mahasiswa memiliki rencana studi yang berbeda-beda, tetapi suasana keakraban dan suportif selalu ia rasakan.
“Kebersamaan kita sebagai satu angkatan, kita masuk ada sembilan orang di antaranya pada waktu itu Rieke, anggota DPR, Rieke Diah Pitaloka,” kenang Hary.
Hary mengungkap, momen kebersamaan tidak hanya terjalin dalam tiap diskusi akademik, tetapi juga dirasakan dalam momen santai.
“Kalau Rieke datang dia pasti membawa makanan kecil, break makan siang tiba-tiba datang bakmi kita makan ramai-ramai, kebersamaan seperti itu yang menyenangkan,” ungkap Hary.
Menyusun disertasi tentu bukan proses yang mudah. Namun, di balik tantangan dan hambatan selama menyusun disertasi, Hary mengaku dirinya sangat senang dan menikmati setiap proses yang ia jalani.
Hary mengatakan topik yang ia teliti sangat sesuai dengan minat dan latar belakangnya, sekaligus relevan bagi kondisi industri media yang tengah bertransformasi ke ranah digital.
“Saya ingin membuat sesuatu tulisan yang kira-kira berguna buat orang lain, buat teman-teman jurnalis,” lanjut Hary, “dan saya kira memang pada waktu itu tantangannya adalah ketika berhadapan dengan digitalisasi seperti ini.”
Hary berpesan, agar para mahasiswa doktoral dapat menjaga keseimbangan antara tanggung jawab akademik dan hiburan ketika menghadapi proses pengerjaan disertasi.
“Tetap menjadi orang biasa-biasa yang juga mungkin butuh hiburan, butuh jalan-jalan, butuh makan, dan lain-lain, tetapi di luar itu kita harus strict dengan apa yang kita jalankan,” tutup Hary.
(FSI)





