Skip to main content
KegiatanProgram Doktor

Ignatius Haryanto Raih Gelar Doktor Ilmu Komunikasi UI ke-142 Usai Paparkan “Disrupsi Digital, Arena Jurnalistik, dan Transformative Capital di Kompas dan Tempo”

By Oktober 15, 2024Oktober 23rd, 2024No Comments2 min read

DEPOK,

Ignatius Haryanto Djoewanto menjadi peraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi ke-142 dari Universitas Indonesia pada Jum’at, 19 April 2024 di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI dengan disertasinya yang bertajuk “Disrupsi Digital, Journalistic Field (Arena Jurnalistik), dan Transformative Capital di Kompas dan Tempo (1995-2020)”. Sidang yang diketuai oleh dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto tersebut diuji oleh Dr. Nina Mutmainnah, Inaya Rakhmani, Ph.D., Dr. Indah Santi Pratidina, J. Haryatmoko, Ph.D dan Angela Romano, Ph.D. Adapun Dr. Eriyanto bertindak selaku Promotor dan Dr. Irwan Julianto selaku Kopromotor.

Berbekal konsep kapital yang dikemukakan oleh Bourdieu, penelitian Haryanto berusaha melihat bagaimana perusahaan media cetak besar seperti Kompas dan Tempo melakukan proses adaptasi atau transformasi menuju jurnalisme digital. Tak hanya itu, penelitian ini menggali syarat dan tantangan yang dihadapi untuk bertahan di masa kini dan mendatang.

Melalui penelitian Haryanto, dapat disimpulkan bahwa Kompas dan Tempo sama-sama mengalami keterlambatan dalam mengantisipasi perkembangan media dan jurnalisme digital akibat kepercayaan diri yang kuat dalam memimpin pasar di media cetak. Semasa Orde Baru, Kompas dan Tempo yang mengalami kehidupan politik yang otoriter dan represif mendapatkan keuntungan melalui ekspansi ke sejumlah bidang ataupun kepemilikan media di sejumlah kota. Kedua media massa memandang sebelah mata kehadiran dan perkembangan media online hingga mereka menyadari penurunan pendapatan dari iklan dan sirkulasi media pada awal dekade kedua abad ke-21 yang menandai adanya perubahan struktural di lingkungan industri media maupun perubahan pembaca media tersebut.

“Iklan yang tadinya menjadi penunjang utama industri media pun berubah. Pendapatan besar yang dinikmati oleh media cetak sebelumnya, belum tentu dapat digantikan, apalagi ketika platform media raksasa yang menguasai pendistribusian konten lewat mesin pencari yang dimilikinya dan membuat pencarian lewat mesin berjalan lebih dari 90% konsumsi berita, ketimbang audiens masuk ke website media itu sendiri,” jelas Haryanto.

Ia turut menyoroti peningkatan konsumsi media online yang dilakukan oleh audiens seiring dengan kepemilikan telepon genggam dan pertumbuhan akses internet. Sayangnya, ajakan berlangganan konten Kompas dan Tempo dinilai belum memenuhi ekspektasi karena ekosistem media masih didominasi oleh praktik konsumsi berita online secara gratis. “Perlu kampanye yang cukup masif dari pihak yang menganjurkan untuk berlangganan atau membayar untuk berita yang bermutu,” sarannya. (SAC)