DEPOK,
Disertasi bertajuk “Kontestasi Kepentingan dalam Migrasi Digital Televisi di Indonesia (Kajian tentang Pertarungan Pemerintah, Industri, dan Masyarakat dalam Pengelolaan Multiplexing Periode 2011-2022)” mengantarkan Feni Fasta meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi ke-146 dari Universitas Indonesia pada Kamis, 4 Juli 2024 di Auditorium Mochtar Riady. Feni berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan ketua sidang promosi doktor, Prof. Dr. Fredy B. L. Tobing beserta dewan penguji, yakni Prof. Dr. Phill. Hermin Indah Wahyuni, M.Si., Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A., Dr. Hendriyani, M.Si., Dr. Irwansyah, M.A, dan Dr. Indah Santi Pratidina, M.Soc.Sci.
Disertasi Feni yang dipromotori oleh Dr. Nina Mutmainnah, M.Si dan dikopromotori oleh Dr. Eriyanto, M.Si tersebut mengkaji kontestasi kepentingan aktor, baik pemerintah, industri, maupun masyarakat dalam dinamika proses digitalisasi penyiaran televisi di Indonesia selama kurun waktu tahun 2011-2022. Dengan strategi studi kasus, Feni berupaya memaparkan alasan kontestasi telah berlangsung lama, berjalan tidak berimbang, dan tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik. Ia melihat bahwa migrasi digital penyiaran yang tidak dilandasi dasar hukum kebijakan berupa UU Penyiaran menimbulkan permasalahan, seperti pengaturan multiplexing, pembagian set top box (STB), dan pengelolaan digital dividend.
Penelitian ekonomi politik kritis ini menunjukkan bahwa pemain besar dalam industri pertelevisian menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam proses digitalisasi penyiaran, sementara industri pertelevisian berskala kecil kian termarjinalkan. Pemerintah memenangkan kepentingan yang mewakili dirinya dan industri pemodal besar dengan menerapkan sistem multi mux sebagai sistem pengelolaan multiplexing di Indonesia yang mengesampingkan kepentingan publik. Maka, jelas bahwa proses migrasi digital televisi terestrial yang dipertarungkan oleh pemerintah, industri, dan masyarakat di Indonesia sarat akan kepentingan ekonomi politik.
“Selain menguntungkan konglomerat media, proses digitalisasi di Indonesia juga semakin menghilangkan peran masyarakat sipil dan lembaga negara independen wakil publik, yakni Komisi Penyiaran Indonesia,” jelasnya.
Feni merekomendasikan agar revisi UU Penyiaran dirumuskan secara lebih jelas dan berpihak pada kepentingan publik, salah satunya dengan membatasi secara ketat penggunaan spektrum frekuensi digital terestrial yang jumlahnya terbatas. Ia pun berharap kewenangan dalam menyeimbangkan otonomi pemerintah yang dominan dikembalikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan masukan-masukan dari para stakeholder penyiaran mampu diakomodasi oleh pemerintah. (SAC)